Rabu, 11 Agustus 2010

Masih Perlukah AMDAL?

dikutip dari blog suryaonline.

Kasus AMDAL Grand City Surabaya (GCS) yang disusun dosen Teknik Lingkungan ITS yang diprotes warga Ketabang, Surabaya, adalah cermin semakin merosotnya wibawa amdal (analisis mengenai dampak lingkungan) sekaligus sebagai bukti ketidakseriusan pemerintah dan pelaku usaha di Surabaya dalam menghayati fungsi penting dokumen amdal. Dalam dokumen amdal banyak ditemukan dugaan rekayasa (Surya, 3/3).

Karena semakin memburuknya kualitas bumi tempat tinggal manusia, maka pada tahun 1972 di Stockholm, negara-negara anggota Persatuan Bangsa-Bangsa mengadakan konferensi lingkungan hidup, menelorkan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan (suistainable development). Melalui implementasi konsep ini pembangunan yang sedang dan akan berjalan di muka bumi diharapkan tidak menimbulkan dampak kerusakan lingkungan yang dapat mengurangi hak generasi selanjutnya akan sumber daya alam dan terpeliharanya proses ekologi.

Di Indonesia untuk meminimalkan dampak pembangunan dibuat instrumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). Praktik pelaksanaan amdal saat ini masih jauh menyimpang dari semangat peraturan yang telah ditetapkan, terdapat empat kelemaham penting dalam implementasi amdal di Indonesia:

Pertama, amdal masih bersifat formalitas dan bukan masalah prinsip dan penting, sehingga tanpa amdal sebuah proyek pembangunan tetap berjalan. Pembuatan amdal GCS semata dilakukan lewat pendekatan legalistik dan tidak dipandang sebagai instrumen pengendalian.

Amdal hanya dijadikan persyaratan administratif yang meminggirkan kepentingan publik sehingga menimbulkan berbagai konflik berkepanjangan. Contoh lainnya adalah pembangunan Perumahan Bukit Mas memperoleh amdal dua tahun setelah perumahan ini dibangun (Kompas, 7/12/2005).

Padahal dalam dokumen amdal menentukan dampak penting pada lingkungan dan manusia, berdasarkan Peraturan Pemerintah No 27/1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup.

Amdal adalah kajian ilmiah dampak besar dan penting pada lingkungan hidup yang ditimbulkan oleh kegiatan manusia. dampak besar dan penting dari suatu kegiatan ditentukan oleh enam hal, yaitu (1) jumlah manusia yang akan terkena dampak, (2) luas wilayah penyebaran dampak, (3) intensitas dan lamanya dampak, (4) banyaknya komponen lingkungan yang terkena dampak, (5) sifat kumulatif dampak, dan (6) apakah dampak yang ditimbulkan dapat terpulihkan atau tidak terpulihkan.

Kedua, masih diabaikannya partisipasi masyarakat dalam penyusunan dan persetujuan amdal. Amdal memuat prinsip-prinsip partisipatif dan transparan. Pasal 35 PP 27/1999 telah mengatur bahwa semua dokumen amdal bersifat terbuka untuk umum yang dapat diakses oleh masyarakat yang membutuhkan. Peraturan tersebut memberikan ruang kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam mengidentifikasi kebutuhan dan kepentingan. Masyarakat berperan penting dalam penyusunan dokumen amdal, karena mereka akan selalu terlibat dalam empat tahapan penyusunan amdal.

a. Sebelum memulai penyusunan dokumen amdal, pemrakarsa kegiatan wajib mengumumkan kepada masyarakat tentang rencana kegiatan secara terbuka.

b. Mengundang masyarakat berkepentingan untuk memberikan masukan dan tanggapan sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan.

c. Masyarakat terkena dampak wajib dilibatkan dalam proses penyusunan dokumen amdal.
d. Penilaian amdal untuk menentukan apakah suatu kegiatan layak lingkungan atau tidak, dilakukan oleh Komisi Penilai Amdal yang beranggotakan pemerintah berwenang, pusat studi lingkungan hidup, tenaga ahli, dan wakil masyarakat.

Ketiga, kualitas amdal masih sangat buruk. Penyusunan amdal masih memprioritaskan kepentingan investor daripada dampak pada lingkungan. Data Bidang Tata Lingkungan, Kantor Menteri Lingkungan Hidup tahun 2006 menyebutkan Lebih dari 75 persen dokumen amdal yang dinilai oleh Komisi Penilai Amdal di kabupaten/kota berkualitas buruk hingga sangat buruk.

Salah satu penyebab buruknya kualitas amdal karena banyak penyusunan studi amdal yang tidak dilakukan oleh orang yang benar-benar ahli di bidangnya. Amdal akan memberikan informasi yang relevan bagi pemerintah sebagai pengambil keputusan dalam pemberian izin usaha yang berpotensi menimbulkan dampak lingkungan, sehingga dalam izin tersebut perlu diatur persyaratan yang harus dipenuhi oleh pemrakarsa usaha untuk mencegah dampak kerusakan lingkungan yang akan ditimbulkan.

Amdal merupakan kajian ilmiah terhadap lingkungan fisik dan sosial yang sangat kompleks, maka dibutuhkan keahlian multidisiplin dalam penyusunan untuk mengidentifikasi berbagai masalah lingkungan dan sosial yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan.

Sungguh menjadi sebuah kejahatan pada lingkungan yang serius bila dalam penyusunan amdal tidak diberikan langkah-langkah antisipasi bila terjadi dampak lingkungan yang mengancam jiwa manusia. Tragedi underground blow out akibat pengeboran gas Lapindo Brantas Inc (LBI) adalah salah satu contohnya. Blow out pada kedalaman hampir 3.000 meter di bawah permukaan tanah di Sumur Banjar Panji 1 ini menimbulkan semburan lumpur panas yang menenggelamkan ribuan rumah warga desa di Kecamatan Porong dan Tanggulangin.

Terjadinya blow-out adalah hal yang biasa terjadi dalam kegiatan pengeboran migas, sehingga segala dampak lingkungan yang ditimbulkan akibat blow-out seharusnya telah diprediksi sejak awal dalam dokumen amdal untuk mempersiapkan langkah-langkah antisipasi.

Pemerintah dan LBI seharusnya melakukan sosialisasi kepada masyarakat sekitar proyek tentang adanya kemungkinan blow-out dan dampak yang akan mereka hadapi serta mempersiapkan langkah antisipasi.
Keempat, Kelemahan pengawasan implementasi dokumen Amdal.

Pengawasan terhadap pelaksanaan Rencana Kelola Lingkungan (RKL) dan Rencana Pantau Lingkungan (RPL) untuk meminimalisasi dampak lingkungan dirasakan masih sangat lemah. Di Surabaya hanya ada empat orang pengawas amdal di tengah banyaknya aktivitas pembangunan. Akibatnya banyak investor yang gemampang pada implementasi amdal.

Dokumen ini akhirnya dimanfaatkan sebagai ‘tameng’ untuk menunjukkan bahwa proyek kegiatannya telah disetujui pemerintah dan layak lingkungan.

Mereka menafikan segala kerusakan lingkungan dan kesengsaraan bagi masyarakat di sekitar proyek kegiatannya. Pelanggaran terhadap peraturan amdal sudah dianggap wajar dengan dalih untuk kepentingan pembangunan, sehingga tidak ada sanksi tegas dari instansi yang memberi izin kegiatan, bahkan pemerintah cenderung berpihak kepada kepentingan pemrakarsa kegiatan.

Perbaikan implementasi amdal harus menjadi prioritas pemerintah untuk mencegah dampak negatif pembangunan yang berdampak pada penderitaan masyarakat di masa yang akan datang.

Pemerintah harus menjadikan pelestarian fungsi lingkungan hidup sebagai arus utama yang diprioritaskan dalam kebijakan pembangunan, Amdal tetap diperlukan sebagai perangkat peraturan untuk mendukung pembangunan ekonomi sekaligus melindungi kesejahteraan masyarakat dan menjaga kelestarian lingkungan hidup. Manusialah yang harus menyesuaikan kebutuhannya dalam mengeksploitasi alam dan memperlakukan bumi.

Bumi ini cukup memberi makan seluruh penduduk Bumi, tetapi tidak cukup bagi satu orang yang serakah.

Daru Setyo Rini Msi
Ecoton

Tidak ada komentar:

Posting Komentar